PIIL PESENGGIRI
1. Bejuluk beadek (berpanggilan bergelar):
Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita, diberikan saat mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai.
Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan sudah menikah, diberikan pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki sudah menikah dari pihak keluarga isteri.
Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu
juluk-adek merupakan identitas utama, melekat pada pribadi bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya.
Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan, telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Suttan,Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst.
Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat
Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud
prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari.
Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya.[]
Dilom bejuluk beadok/beadek nuntut gham ngedok kehaghusan beahlak tepuji, bejiwa balak,berkepribadian mantap, betanggung jawab, dapok ngelaksanako kewajiban secagha individu,tehadep dighi sayan,keluarga,masyarakat ghik selaku hamba Allah.
Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan sudah menikah, diberikan pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki sudah menikah dari pihak keluarga isteri.
Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu
juluk-adek merupakan identitas utama, melekat pada pribadi bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya.
Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan, telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Suttan,Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst.
Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat
Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud
prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari.
Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya.[]
Dilom bejuluk beadok/beadek nuntut gham ngedok kehaghusan beahlak tepuji, bejiwa balak,berkepribadian mantap, betanggung jawab, dapok ngelaksanako kewajiban secagha individu,tehadep dighi sayan,keluarga,masyarakat ghik selaku hamba Allah.
2. Nemui nyimah:
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui, berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah", berarti suka memberi (pemurah).
Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan
kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi.
Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.
Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru, mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang, tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial.
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.[]
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui, berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah", berarti suka memberi (pemurah).
Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan
kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi.
Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.
Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru, mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang, tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial.
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.[]
3. Sakai sambayan:
Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas.
Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menun-jukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan.[]
Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas.
Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menun-jukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan.[]
4. Nengah nyappur:
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja, berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur, berarti baur atau berbaur.
Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan, anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan.
Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial.
Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan.
Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.
Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga
menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat.
Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai penge-tahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab.
Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.[]
5.Titie Gemattei
Titie Gemattei terdiri dari dua suku kata, titie dan gemattei. Titie berasal dari kata titi yang berarti jalan, dan gemantie berarti lazim atau kebiasaan leluhur yang dianggap baik.
Wujud titie gemanttei secara konkrit berupa norma yang sering disebut kebiasaan masyarakat adat. Kebiasaan masyarakat adat ini tidak tertulis, yang terbentuk atas dasar kesepakatan masyarakat adat melalui suatu forum khusus (rapat perwatin Adat/Keterem).
Titie gemattei tersebut berisi keharusan, kebolehan dan larangan (cepalo) untuk
berbuat dalam penerapan semua elemen Piil Pesenggiri. Memperhatikan proses
normatif hubungan sosial titie gemattei ini, maka dalam aktualisasi penerapannya senantiasa amat lentur dan fleksibel mengikuti tuntutan perubahan (selalu terjadi penyesuaian).
Contoh; pada masa lalu setiap penyimbang suku di Anek, Kampung, Tiyuh atau Pekon harus mempunyai tempat mandi khusus di sungai (disebut kuwaiyan, pakkalan), tetapi sekarang sesuai dengan perkembangan zaman diganti dengan kamar mandi.
Titie gemattie juga mempunyai pengertian sopan santun untuk kebaikkan yang
diutamakan berdasarkan kelaziman dan kebiasaan. Kelaziman dan kebiasaan yang berdasarkan kebaikkan ini pada hakekatnya menggambarkan bahwa masyarakat Lampung mempunyai tatanan kehidupan sosial yang teratur.
Sikap membina kebiasaan yang berdasarkan kebaikkan merupakan modal dasar pembangunan dan pemahaman terhadap budaya malu baik secara pribadi, keluarga maupun masyarakat.
Prinsip hidup yang terkandung dalam titie gemattei merupakan pedoman dalam pelaksanaan pengawasan terhadap sikap perilaku yang melahirkan cepalo (norma hukum) yang kongkrit dan terbentuknya tatanan hukum yang baru, sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat.[]
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja, berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur, berarti baur atau berbaur.
Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan, anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan.
Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial.
Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan.
Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.
Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga
menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat.
Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai penge-tahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab.
Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.[]
5.Titie Gemattei
Titie Gemattei terdiri dari dua suku kata, titie dan gemattei. Titie berasal dari kata titi yang berarti jalan, dan gemantie berarti lazim atau kebiasaan leluhur yang dianggap baik.
Wujud titie gemanttei secara konkrit berupa norma yang sering disebut kebiasaan masyarakat adat. Kebiasaan masyarakat adat ini tidak tertulis, yang terbentuk atas dasar kesepakatan masyarakat adat melalui suatu forum khusus (rapat perwatin Adat/Keterem).
Titie gemattei tersebut berisi keharusan, kebolehan dan larangan (cepalo) untuk
berbuat dalam penerapan semua elemen Piil Pesenggiri. Memperhatikan proses
normatif hubungan sosial titie gemattei ini, maka dalam aktualisasi penerapannya senantiasa amat lentur dan fleksibel mengikuti tuntutan perubahan (selalu terjadi penyesuaian).
Contoh; pada masa lalu setiap penyimbang suku di Anek, Kampung, Tiyuh atau Pekon harus mempunyai tempat mandi khusus di sungai (disebut kuwaiyan, pakkalan), tetapi sekarang sesuai dengan perkembangan zaman diganti dengan kamar mandi.
Titie gemattie juga mempunyai pengertian sopan santun untuk kebaikkan yang
diutamakan berdasarkan kelaziman dan kebiasaan. Kelaziman dan kebiasaan yang berdasarkan kebaikkan ini pada hakekatnya menggambarkan bahwa masyarakat Lampung mempunyai tatanan kehidupan sosial yang teratur.
Sikap membina kebiasaan yang berdasarkan kebaikkan merupakan modal dasar pembangunan dan pemahaman terhadap budaya malu baik secara pribadi, keluarga maupun masyarakat.
Prinsip hidup yang terkandung dalam titie gemattei merupakan pedoman dalam pelaksanaan pengawasan terhadap sikap perilaku yang melahirkan cepalo (norma hukum) yang kongkrit dan terbentuknya tatanan hukum yang baru, sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar